Jumat, 21 Januari 2011

KEARIFAN LOKAL BATIK NITIK DAN DAYA SAING BANGSA

Oleh: Andhisa Setya Hapsari *)

Isu kearifan lokal terus digencarkan di tengah-tengah kondisi perekonomian yang semakin rumit akibat globalisasi. Adanya kebutuhan untuk meningkatkan daya saing membuat manusia berpikir tentang jati diri dan keuinikannya. Di saat itu pula, beberapa terhentak akan kenyataan mulai pudarnya nilai-nilai kearifan ini.

            Keterkejutan ini terjadi pula saat masyarakat Indonesia menilik kekuatan daya saing batik. Dari segi keunikan, daya komparatif batik memang patut diacungi jempol. Namun, sejauh mana daya ini dapat bertahan adalah permasalahan yang cukup fundamental. Pertama, kita tidak bisa menutup mata ketika negara tetangga mengaku bahwa bahwa mendaftarkan hak cipta atas motif batik tertentu. Kedua, setelah ditelusur bagaimana proses pembuatan batik, diketahui bahwa tidak lagi banyak masyarakat terutama generasi muda berminat untuk menjadi pengrajin batik. Dari sini, masalah kelestarian batik menjadi terancam. Ketiga, minimnya pengetahuan masyarakat tentang batik sendiri membuat persaingan batik menjadi tidak sempurna. Masuknya produk kain printing motif batik dengan harga jauh lebih murah membuat produk batik asli menjadi tersingkirkan dari persaingan.
            Ambil contoh kasus di kembangsongo, sebuah dusun di kecamatan Jetis, Bantul Yogyakarta. Sekilas, nama dusun ini tampak asing di telinga. Namun, beberapa tahun lalu, sekitar tahun 1980-an, daerah ini cukup dikenal dengan batik nitiknya. Berbeda dengan kebanyakan batik, motif dengan banyak titik yang membentuk berbagai macam pola lebih sulit pembuatannya dibandingkan dengan batik lukis berupa goresan-goresan gambar. Oleh karena itu, tidak setiap pembatik bisa menorhkean motif nitik ini. Ini adalah salah satu contoh kearifan lokal yang patut dibanggakan baik bagi daerahnya sendiri maupun dalam skala internasional.
            Hanya saja, kearifan lokal ini sepertinya tidak dapat bertahan lebih lama lagi. Selera masyarakat menilai motif ini terlalu monoton bila tidak dikombinasikan dengan motif lain. Di lain pihak, para pembatik yang umumnya sudah berusia lanjut bersikap teguh untuk tetap hanya membatik dengan motif nitik. Tidak adanya kemauan untuk belajar membatik motif lain, pada dasarnya, berkorelasi dengan usaha untuk mempertahankan ciri khas batik nitik daerah ini.
Masalah lain terletak pada mulai terganggunya kelestarian batik nitik ini dikarenakan minimnya minat generasi muda daerah ini untuk menjadi pembatik. Selain karena rendahnya gengsi pekerjaan ini, pendapatan yang diperoleh juga tidak seberapa. Pasar produk yang tidak terlalu ramai menyebabkan pasar tenaga kerja juga tidak kompetitif, akibatnya upah yang ditawarkan juga tidak seberapa. Dalam menghadapi hal ini, para produsen berinisiatof membuat cap motif batik untuk mempercepat proses produksi. Hasilnya adalah apa yang dikenal sebagai batik cap yang harganya juga relatif lebih murah. Ditemukannya batik cap membuat produsen berpikir ulang untuk merekrut buruh batik. Itu justru membuat  makin minimnya jumlah pembatik.
            Semakin beredarnya kain printing motif batik dengan harga relatif jauh lebih murah dan minimnya pengetahuan masyarakat untuk membedakan mana yang asli, membuat pasar produk batik tulis semakin terpojok. Pasar yang minim ini tidak menggiurkan bagi para pembatik untuk tetap menjadi pengrajin batik. Keseluruhan permasalahan ini dapat digambarkan sebagai lingkaran setan pemudaran kearifan lokal. Setiap faktor menjadi sebab sekaligus akibat dari pemudaran ini. Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana memutus jebakan ini.
            Masalah fundamental yang perlu dibenahi di awal adalah masalah pemahaman dan pengetahuan masyarakat tentang batik. Bila masyarakat paham benar, bagaimana selembar kain batik itu dibuat, maka tidak lain pandangan mereka akan berubah. Setidaknya mereka akan lebih menghargai dan dapat membedakan kain batik asli dan printing. Bagaimana ibu-ibu di setiap sudut dusun, di beranda rumahnya meniup cantingnya, menorhkan malam di kain dengan motif batik yang khas. Mereka hanya dibayar sekitar Rp30.000-Rp80.000 per lembarnya. Setelah itu, kain didistrbusikan ke juragan batik yang biasanya memiliki perlengkapan pewarnaan dan pelorotan malam. Bahan-bahan alami pewarnaan batik bukanlah benda yang murah. Jadi, keseluruhan biaya produksi batik pun cukup tinggi. Itulah sebabnya mengapa harga jual batik tulis tangan relatif lebih mahal.
            Penghargaan masyarakat terhadap nilai kearifak lokal ini menjadi kunci penting dalam rangka mempertahankan budaya batik. Masyarakat ini teridiri dari para konsumen untuk lebih bisa memilih nilai daripada harga, produsen untuk lebih menghargai para pengrajin, dan para pengrajin untuk mau melakukan kaderisasi atas motif-motifnya.
*) Mahasiswa Akuntansi UGM

http://assassinisborn.multiply.com/journal/item/24

Tidak ada komentar:

Posting Komentar