YOGYAKARTA - Komunitas Seniman Yogyakarta mendukung keistimewaan Yogyakarta dengan cara unik. Mereka membuat nasi bungkus ukuran besar yang kemudian diarak lalu dipajang di kawasan Nol Kilometer Yogyakarta, Jumat (7/1/2011).
Koordiantor Komunitas Seniman Yogyakarta Ong Hari Wahyu mengatakan, nasi bungkus bagi Yogyakarta mempunyai filosofis yang mendalam. Nasi bungkus merupakan semangat kegotongroyongan dan kebersamaan dari berbagai kalangan masyarakat, termasuk wong cilik. "Ini adalah spirit Keistimewaan Yogyakarta," katanya, Jumat (7/1/2011).
Dia menambahkan, saat Yogyakarta diterjang berbagai musibah seperti Gempa Bumi pada 2006 yang menewaskan ribuan orang maupun erupsi Merapi, keberadaan nasi bungkus bisa menjadi perekat kekeluargaan. "
Saat kita diterpa musibah, warga dengan suka rela memberikan nasi bungkus kepada para korban, termasuk di pengungsian," ungkapnya.
Menurut dia, dengan nasi bungkus berbagai cobaan yang dialami warga Yogyakarta tidak menyurutkan semangat kebersamaan warganya. "Inilah keistimewaannya, di saat modernisasi begitu kuat memasuki sendi-sendi kehidupan, namun nilai tradisi berupa kebersamaan, kegotongroyongan tidak pernah padam. Di Yogyakarta modernisasi dan tradisi serta budi pekerti hidup berdampingan," jelasnya.
Nasi bungkus ukuran raksasa itu dikirab dari Taman Budaya Yogyakarta (TBY) dan dipajang di Kawasan Titik Nol Kilometer Yogyakarta. Nasi bungkus buatan seniman Budi Ugruk itu diarak meliwati Pasar Beringharjo dengan diiringi berbagai elemen masyarakat, mulai dari Pasukan Bregodo, Pasukan Lombok Abang, Paguyubuan Buruh Gendong Pasar Beringharjo dan lainnya.
Nasi bungkus raksasa itu sengaja dipajang di ruang publik, agar semangat kebersamaan dan kegotongroyongan akan terus berada di dalam jiwa masyarakat Yogyakarta. Nasi bungkus itu dipajang di ruang publik selama enam bulan, lalu diganti dengan yang baru dengan ukuran yang sama. "Jadi setiap enam bulan diganti," kata Ong.
Si pembuat nasi bungkus raksasa, Budi Ugruk, mengatakan, pembuatan nasi bungkus raksasa itu membutuhkan waktu 20 hari. Alat yang digunakan berupa logam (seng) ukuran 11 meter persegi.
"Kira-kira membutuhkan 11 potong seng. Seng itu dilem lalu dibuat seperti layaknya bungkusan nasi yang besar. Kemasan mirip seperti nasi bungkus dengan bungkusan koran. Nasi bungkus itu banyak dijumpai di angkringan-angkringan di Yogyakarta," jelasnya.
(Ridwan Anshori/Koran SI/teb)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar