Jogjakarta dulu dan sekarang bedanya banyak sekali. Kalau yang sekarang pastinya sudah sering ngeliat kaya apa kan?
Ada beberapa bangunan yang menjadi landmark-nya kota Jogjakarta, kebetulan landmark tersebut beberapa adalah bangunan yang bersejarah dan peninggalan dari Belanda.
Beberapa merupakan daerah yang sejarahnya sudah sangat panjang, seperti misalnya Malioboro dan daerah kota baru. Jadi tidak ada salahnya anda membaca dan melihat-lihat Jogja tempo dulu. Kerasa kok indah dan klasiknya…
Diantaranya adalah :
Malioboro
Jalan Malioboro adalah nama jalan di Kota Yogyakarta yang membentang dari Tugu Yogyakarta hingga ke perempatan Kantor Pos Yogyakarta yang terdiri dari Jalan Pangeran Mangkubumi dan Jalan Jend. A. Yani, Jalan ini merupakan poros Garis Imaginer Kraton Yogyakarta.Malioboro tahun 1935
Terdapat beberapa obyek bersejarah di jalan ini antara lain Tugu Yogyakarta, Stasiun Tugu, Gedung Agung, Pasar Beringharjo, Benteng Vredeburg dan Monumen Serangan Oemoem 1 Maret.Malioboro tahun 1936
Jalan ini sangat terkenal dengan para pedagang kaki lima yang menjajakan kerajinan khas jogja dan warung-warung lesehan di malam hari yang menjual makanan gudeg khas jogja serta terkenal sebagai tempat berkumpulnya para seniman-seniman yang sering mengekpresikan kemampuan mereka seperti bermain musik, melukis, hapening art, pantomim dan lain-lain disepanjang jalan ini.Malioboro tahun 1938
Malioboro – toko oen tahun 1946
Malioboro tahun 1948
Malioboro tahun 1949
Jam Malioboro
Tugu JogjakartaTugu Jogjakarta adalah sebuah tugu atau menara yang sering dipakai sebagai simbol/lambang dari kota Yogyakarta. Tugu ini dibangun oleh Hamengkubuwana I, pendiri kraton Yogyakarta. Tugu yang terletak di perempatan Jl Jenderal Sudirman dan Jl. Pangeran Mangkubumi ini, mempunyai nilai simbolis.
Tugu jogjakarta tahun 1928
Tugu ini sekarang merupakan salah satu objek pariwisata Yogya, dan sering dikenal dengan istilah “tugu pal putih” (pal juga berarti tugu), karena warna cat yang digunakan sejak dulu adalah warna putih. Tugu pal ini berbentuk bulat panjang dengan bola kecil dan ujung yang runcing di bagian atasnya.
Dari kraton Yogyakarta kalau kita melihat ke arah utara, maka kita akan menemukan bahwa Jalan Malioboro, Jl Mangkubumi, tugu ini, dan Jalan Monument Yogya Kembali akan membentuk satu garis lurus persis dengan arah ke puncak gunung Merapi.
Tugu jogja tahun 1922
Tugu Jogja dilihat dari jalan Gondolayu 1937
Hotel Garuda Jogjakarta
Hotel Inna Garuda mempunyai sejarah panjang dengan pergantian namanya yang terjadi sampai dengan enam kali: Grand Hotel De Djokdja, Hotel Asahi, Hotel Merdeka, Hotel Garuda, Natour Garuda, dan sekarang Inna Garuda.
1908 – 1942: Grand Hotel De Djokdja atau “Yogyakarta Hotel”
Di bangun oleh Pemerintah Belanda, hotel ini beroperasi pada tahun 1911 dan hanya menampung tentara Belanda.
Di bangun oleh Pemerintah Belanda, hotel ini beroperasi pada tahun 1911 dan hanya menampung tentara Belanda.
Hotel Yogya – garuda tahun 1941
1942 – 1945: Hotel Asahi
Pada tahun 1942, Jepang mengganti nama hotel itu menjadi Hotel Asahi.
Pada tahun 1942, Jepang mengganti nama hotel itu menjadi Hotel Asahi.
Hotel Garuda tahun 1948
1945 – 1950: Hotel Merdeka
Setelah kemerdekaan Indonesia, hotel Asahi diambil alih oleh rakyat dan diganti namanya menjadi Hotel Merdeka.
Setelah kemerdekaan Indonesia, hotel Asahi diambil alih oleh rakyat dan diganti namanya menjadi Hotel Merdeka.
Hotel Garuda tahun 1948
1950 – 1982: Hotel Garuda
Pemerintah Indonesia mengganti nama Hotel Merdeka menjadi Hotel Garuda pada tahun 1950 dan pada tahun 1975 pemerintah mempercayakannya pada PT. Natour untuk menjalankan hotel itu.
Pemerintah Indonesia mengganti nama Hotel Merdeka menjadi Hotel Garuda pada tahun 1950 dan pada tahun 1975 pemerintah mempercayakannya pada PT. Natour untuk menjalankan hotel itu.
1982 – 2001: Hotel Natour Garuda
Pada tahun 1982, PT. Natour merenovasi Hotel Garuda dan mengembangkannya menjadi hotel bintang tiga. Di tahun 1987 Hotel Natour Garuda secara resmi dinyatakan oleh pemerintah melalui Departemen Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi sebagai hotel bintang tiga.
Pada tahun 1982, PT. Natour merenovasi Hotel Garuda dan mengembangkannya menjadi hotel bintang tiga. Di tahun 1987 Hotel Natour Garuda secara resmi dinyatakan oleh pemerintah melalui Departemen Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi sebagai hotel bintang tiga.
2001 – Sekarang: Hotel Inna Garuda
Stasiun Tugu
Stasiun Tugu jogja sekitar tahun 1930
Stasiun Tugu mulai melayani kebutuhan transportasi sejak 2 Mei 1887, sekitar 15 tahun setelah Stasiun Lempuyangan. Awalnya, stasiun ini hanya digunakan untuk transit kereta pengangkut hasil bumi dari daerah di Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Namun sejak 1 Februari 1905, stasiun ini mulai digunakan untuk transit kereta penumpang. Jalur luar kota pertama dibangun tahun 1899, menghubungkan yogyakarta dan Surakarta.
stasiun tugu jogja 1887
Karena dibangun pada masa kolonial Belanda, maka arsitektur bangunannya pun sangat kental dengan nuansa Eropa. Begitu turun dari kereta, anda akan langsung mengenalinya dari pintu-pintu besar berwarna coklat serta langit-langit yang tinggi dimantapkan dengan warna dinding yang putih. Anda juga bisa menikmati pesona bangunan stasiun yang hingga sekarang masih dipertahankan keasliannya dari depan. Bangunan tampak megah dengan pintu besar dan dua atap yang memayungi jalur kereta.
Benteng vredeburg
Benteng Vredeburg Yogyakarta berdiri terkait erat dengat lahirnya Kasultanan Yogyakarta. Perjanjian Giyanti 13 Februari 1755 yang berhasil menyelesaikan perseteruan antara Susuhunan Pakubuwono III dengan Pangeran Mangkubumi (Sri Sultan Hamengkubuwono I) adalah merupakan hasil politik Belanda yang selalu ingin ikut campur urusan dalam negeri Raja-raja Jawa pada waktu itu.
Fort Vredeburg adalah sebuah benteng yang dibangun oleh Belanda di Yogyakarta selama masa kolonial. Terletak di depan Gedung Agung, satu dari tujuh istana kepresidenan di Indonesia dan Istana Sultan yang dinamakan Kraton. Dibangun tahun 1765 untuk melindungi gubernur Belanda. Dikelilingi oleh sebauh parit yang masih bisa terlihat.
Benteng berbentuk persegi ini mempunyai menara pantau di keempat sudutnya. Di masa lalu, tentara Belanda sering berpatroli mengelilingi dindingnya.
Sekarang, benteng ini menjadi sebuah museum. Di sejumlah bangunan di dalam benteng ini terdapat diorama mengenai sejarah indonesia
Kantor Cabang (KC) De Javasche Bank (DJB) ”Djokdjakarta” dibuka pada 1 April 1879 sebagai KC ke-8. Berdirinya KC Djokdjakarta ini terutama untuk mengakomodasi usulan Firma Dorrepaal and Co Semarang. Presiden De Javasche Bank ke-7, Mr N P Van den Berg dan jajaran direksi menyetujui usulan itu mengingat volume perdagangan di Yogyakarta yang semakin besar.
Gedung BI Jogjakarta tempo dulu
Hal itu tecermin dari jumlah transfer uang ke Yogyakarta melalui KC DJB Soerakarta yang waktu itu mencapai 2 juta gulden-3,5 juta gulden. Yogyakarta pada waktu itu merupakan daerah penghasil gula dengan produksi 300.000 pikul per tahun atau setara dengan 2.580 ton. Cabang DJB Yogyakarta didirikan pada 1879 di atas tanah seluas 300 meter persegi. Tanah tempat DJB berdiri berstatus eigendom yang berarti merupakan tanah milik DJB sendiri dan bukan lagi milik Sultan Yogyakarta.
Sejak 1879 hingga akhirnya dinasionalisasi oleh Pemerintah Republik Indonesia pada 1953, fungsi gedung bank ini naik turun. Ketika Jepang masuk ke Indonesia pada 1942, kegiatan operasional bank ini berhenti. Bersamaan dengan itu, Nanpo Kaihatsu Ginko difungsikan Jepang sebagai bank sirkulasi di Pulau Jawa. Setelah melalui masa buka tutup akibat agresi militer Belanda, KC DJB ini beroperasi kembali pada 22 Maret 1950 hingga dinasionalisasi pada 1953. Tahan terhadap tsunami
Laretna menjelaskan, seperti juga gedung DJB lainnya, gedung DJB Djokdjakarta dirancang oleh arsitek Hulswitt dan Cuypers dengan hasrat menampilkan kemegahan arsitektural. Gedung ini terdiri atas tiga lantai yang memiliki ruang-ruang dengan fungsi yang berbeda. Ruang di lantai dasar berfungsi sebagai ruang penyimpanan, dengan brankas besar (ruang khazanah) yang berfungsi untuk menyimpan uang. Di lantai satu terdapat ruang kantor dan kasir yang merupakan fungsi utama dalam gedung bank. Lantai dua dengan tambahan balkon yang dibangun tahun 1950-an menjadi tempat tinggal bagi direksi dan keluarganya.
Pasar Beringharjo
Pasar Beringharjo menjadi sebuah bagian dari Malioboro yang sayang untuk dilewatkan. Bagaimana tidak, pasar ini telah menjadi pusat kegiatan ekonomi selama ratusan tahun dan keberadaannya mempunyai makna filosofis. Pasar yang telah berkali-kali dipugar ini melambangkan satu tahapan kehidupan manusia yang masih berkutat dengan pemenuhan kebutuhan ekonominya. Selain itu, Beringharjo juga merupakan salah satu pilar ‘Catur Tunggal’ (terdiri dari Kraton, Alun-Alun Utara, Kraton, dan Pasar Beringharjo) yang melambangkan fungsi ekonomi.
pasar beringharjo di tahun 1925
pasar beringharjo di tahun 1925
Wilayah Pasar Beringharjo mulanya merupakan hutan beringin. Tak lama setelah berdirinya Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, tepatnya tahun 1758, wilayah pasar ini dijadikan tempat transaksi ekonomi oleh warga Yogyakarta dan sekitarnya. Ratusan tahun kemudian, pada tahun 1925, barulah tempat transaksi ekonomi ini memiliki sebuah bangunan permanen. Nama ‘Beringharjo’ sendiri diberikan oleh Hamengku Buwono IX, artinya wilayah yang semula pohon beringin (bering) diharapkan dapat memberikan kesejahteraan (harjo). Kini, para wisatawan memaknai pasar ini sebagai tempat belanja yang menyenangkan.
keadaan di pasar ngasem , pasar burung, di tahun 1928
Kantor pos besar jogja
kantor pos jogja tahun 1910
kantor pos jogjakarta tahun 1955
kantor pos jogja tahun 1967
membaca pamflet di kantor pos jogja tahun 1848
Masjid Agung Kauman
Masjid Kauman yang dibangun pada tahun 29 mei 1773 ini terletak di sebelah barat alun-alun utara Keraton Yogyakarta. Keberadaannya menjadi sebuah penanda bahwa selain sebagai Senopati Ing Ngalogo atau Pimpinan Pemerintahan dan Perang, seorang Raja Mataram juga merupakan Sayidin Panatagama Khalifatullah atau wakil Allah SWT di dunia dalam memimpin agama.
Masjid Gede Kauman yang dibangun oleh seorang arsitek bernama Kyai Wiryokusumo ini kental dengan budaya Jawa. Ciri khasnya adalah beratap tumpang tiga, dengan mustaka menggambarkan daun Kluwih dan Gadha.
masjid besar kauman tahun 1888
Ciri Khas
Atap tumpang tiga melambangkan tahapan kehidupan manusia, yakni dari Hakekat, Syari’at hingga Ma’rifat.
Makna daun Kluwih adalah linuwih, atau punya kelebihan yang sempurna, sementara gadha yang berarti tunggal, hanya mengakui keesaan Allah SWT.
masjid kauman tahun 1925
Menariknya di bagian luar masjid terdapat pula berbagai bangunan pendukung, seperti 2 Pagongan disebelah kanan dan kiri masjid yang berfungsi sebagai tempat memainkan gamelan saat perayaan sekaten dalam rangkaian Maulid Nabi Muhammad SAW. Selain itu, terdapat pula Pasucen atau tempat bersuci, Pajagan atau tempat berjaga, Gapura atau Regol Masjid, Hingga tempat pemakaman.
Masjid agung kauman tahun 1927 – www.sahabatjogja.com
Memasuki Masjid Gede Kauman, para pengunjung akan singgah terlebih dahulu di beranda atau serambi masjid. Keagungan arsitektur serambi jelas terlihat dari ukiran dan langit-langit yang bernilai seni sangat tinggi.
Bangunan serambi Munara Agung ini adalah serambi pemberian Sri Sultan Hamengkubuwono ke-VI, setelah serambi yang asli roboh di guncang gempa bumi pada tahun 1867. saat itu imam masjid yang pertama juga ikut wafat karena gempa.
Pada tahun 1936, lantai masjid yang sebelumnya terbuat dari batu kali diganti dengan marmer bermotif bunga dari Italia.Diserambi inilah, berbagai kegiatan seperti dakwah, pertemuan alim ulama, pengajian, mahkamah pengadilan, pernikahan hingga pembagian warisan dilangsungkan.
Berikut adalah beberapa foto yang menggambarkan jogjakarta di jaman dahulu.
foto-fotonya kok tidak bisa muncul ya? tolong n matur nuwun
BalasHapus